Pada jaman dahulu kala, hiduplah serorang pendekar wanita, Butet namanya. Sebelum lulus dari Pandapotan silat, ia harus menempuh ujian Nasution. Agar bisa berkonsentrasi, dia memutuskan untuk menyepi ke gunung dan berlatih.
Saat di perjalanan, Butet merasa lapar sehingga memutuskan untuk mampir di Pasaribu setempat.
Beberapa pemuda tanggung yang lagi nonton sabung ayam sambil Toruan, langsung Hutasoit-soit melihat Butet yang seksi dan Hotma itu. Tapi Butet tidak peduli, dia jalan Sitorus memasuki rumah makan tanpa menanggapi, meskipun sebagai perempuan yang ramah tapi ia tak gampang Hutagaol dengan sembarang orang.
Naibaho ikan gurame yang dibakar Sitanggang dengan Batubara membutanya semakin berselera. Apalagi diberi sambal terasi dan Nababan yang hijau segar. Setelah mengisi perut, Butet melanjutkan perjalanan. Ternyata jalan ke sana berbukit-bukit. Kadang Nainggolan, kadang Manurung. Di tepi jalan dilihatnya banyak Pohan, kebanyakan Pohan Tanjung. Beberapa diantaranya ada yang Simatupang diterjang badai semalam.
Begitu sampai di atas gunung, Butet berujar "Wow, Siregar sekali hawanya"
katanya, berbeda dengan kampungnya yang Pangabean. Hembusan Perangin-angin pun sepoi-sepoi menyejukkan, sambil diiringi Riama musik dari mulutnya. Sejauh Simarmata memandang warna hijau semuanya.
Tidak ada tanah yang Girsang, semuanya Singarimbun. Tampak di seberang, lautan ikan Lumban-lumban. Terbawa suasana, mulanya Butet ingin berenang. Tetapi yang diketemukannya hanyalah bekas kolam Siringo-ringo yang akan di Hutahuruk dengan Tambunan tanah. Akhirnya dia memutuskan untuk berjalan-jalan di pinggir hutan saja, yang suasananya asri, meskipun nggak ada Tiurma memlambai kayak di pantai.
Sedang asik-asiknya memnikmati keindahan alam, tiba-tiba dia dikejutkan oleh ular yang sangat besar. "Sinaga!" teriaknya ketakutan sambil lari Sitanggang-langgang. Celakanya, dia malah terpeleset dari Tobing sehingga bibirnya Sihombing. Karuan Butet menangis Marpaung-paung lantaran kesakitan. Tetapi dia lantas ingat, bahwa sebagai pendekar pantang untuk menangis. Dia harus Togar. Maka, dengan menguat-nguatkan diri, dia pergi ke tabib setempat untuk melakukan pengobatan.
Tabib tergopohg-gopoh Simangunsong di pintu untuk menolongnya. Tabib bilang, bibirnya harus di-Panjaitan.
"Hm, biayanya Pangaribuan" kata sang tabib setelah memeriksa sejenak.
"itu terlalu mahal. Bagaimana kalau Napitupulu saja?" tawar si Butet.
"Napitupulu terlalu murah. Pandapotan saya kan kecil".
"Jangan begitulah. Masa' tidak Siahaan melihat bibir saya Sihombing begini? Apa saya mesti Sihotang, bayar belakangan? Nggak mau kan?" "Baiklah, tapi pakai jarum Sitompul saja" sahut sang mantri agak kesel. "Cepatlah! Aku sudah hampir Munthe. Saragih sedikit nggak apa-apalah".
Malamnya, ketika sedang asik-asiknya berlatih sambil makan kue Lubis kegemarannya, sayup-sayup dia mendengar lolongan Rajagukguk. Dia Bonar-bonar ketakutan. Apalagi ketika mendengar suara disemak-semak tiba-tiba berbunyi "Poltak!" keras sekali.
"Ada Sitomorang?" tanya Butet sambil memegang tongkat seperti stik Gultom erat-erat untuk menghadapi Sagala kemungkinan
Terdengar suara pelan, "Situmeang". "Sialan, cuma kucing." desahnya lega. Padahal dia sudah sempat berpikir yang Silaen-laen. Selesai berlatih, Butet pun istirahat. Terkenang dia akan kisah orang tentang Hutabarat di bawah Tobing pada jaman dulu dimana ada Simamora, gajah Purba yang berbulu lebat. Keesok harinya, Butet kembali ke Pandapotan silatnya. Di depan ruangan ujian dia membaca tulisan: "Harahap tenang! Ada ujian.
"Wah telat, emang udah jam Silaban sih". Maka Siboru-boru dia masuk ke ruangan sambil bernyanyi-nyanyi. Di-Tigor-lah dia sama gurunya "Butet, kau jangan ribut!, bikin kacau konsentrasi temanmu!"
Butet, tanpa Malau-malau langsung Sijabat tangan gurunya, "Nggak Pakpahan guru, sekali-sekali?!"
Akhirnya, luluslah Butet dan menjadi orang yang disegani karena mengikuti wejengan guru Pandapotan silatnya untuk selalu,
"Simanjuntak gentar, Sinambela yang benar!"
0 komentar:
Posting Komentar